Kamis, 19 Februari 2015

CURAHAN HATI



Mungkin semua orang pernah merasa  berada pada titik jenuh, jenuh dengan kehidupan prebadi kita, jenuh dengan rutinitas sehari-hari kita dan jenuh dengan pekerjaan yang selama ini kita jalani.
Hal itu wajar dan manusiawi sekali, setelah sekian lama bergelut dengan rutinitas yang sudah kita jalani bertahun-tahun lamanya.
Penyebab rasa jenuh itu mungkin bermacam-macam tapi apapun itu ketika titik jenuh itu datang menghampiri kita, seketika itu juga kita seperti kehilangan semangat hidup, ibaratnya seperti tanaman kekurangan air sekita itu juga layu.
Saya dan mungkin semua orang didunia ini pernah merasakan kejenuhan, hal ini bisa saja dipicu dari rasa kecewa sehingga tidak ada lagi semangat untuk menjalani pekerjaan seperti biasa, sehingga terkesan cuma menghabiskan waktu, melaksanakan rutinitas tanpa ada keinginan untuk berbuat lebih dan lebih, tokh! Buat apa atasan sepertinya tutup mata dengan apa yang selama ini kita lakukan.
Seperti apa sih sosok pimpinan yang seharusnya??
Tak ada manusia yang sempurna itu pasti, tapi setidaknya ketika allah menitipkan suatu amanah berupa jabatan kepada kita, hendaknya berusahalah untuk menjadi pimpinan yang adil, yang tidak memikirkan keuntungan diri sendiri dan tidak pernah merasa tersaingi oleh anak buahnya sendiri.
Saya jadi teringat dengan cerita teman saya tentang kisah  Coca Cola salah satu merk minuman yang sudah sangat terkenal di indonesia.
Dia bercerita ada 3 kaleng Coca Cola yang di produksi pada pabrik yang sama, pada tanggal, bulan dan tahun yang sama, rasa, ukuran dan kemasan pun sama tidak ada bedanya sama sekali.
coca cola pertama  kebetulan sekali ditempatkan dikios pinggir jalan, coca cola kedua  saat itu di order oleh seorang pemilik supermarket sehingga tempatnya di supermarket, bagaimana nasib coca cola ketiga, ternyata coca cola ketiga di order oleh pemilik hotel berbintang, untuk mengisi dan melengkapi berbagai minuman dingin di kulkas kamar-kamar hotelnya.
Coca cola pertama di jual dengan harga empat ribu rupiah karena cuma berada dipinggir jalan yang pelanggannya cuma orang-orang pinggiran, coca cola kedua di jual dengan harga sepuluh ribu rupiah maklum  ditempatkan disupermarket ternama, orang-orang yang membelinya pun dari kalangan berada, dan bagaimanakah nasib coca cola ketiga ternyata coca cola ketiga di jual dengan harga seratus ribu rupiah sungguh harga yang sangat fantastis untuk sekaleng coca cola karena berada dihotel berbintang dan yang meminumnya pun bapak-bapak pengusaha dan pejabat.
Seperti itu mungkin refleksi hidup kita, apa bedanya ketiga coca cola tersebut, semua sama baik bentuk, ukuran dan rasa, terus apanya yang salah??, ternyata keadaan atau tempat lah yang membedakan mereka sehingga nilai mereka berbeda lanjut teman saya, jadi kesimpulannya kita bukan tidak bisa, kita bukan tidak mampu hanya saja ternyata selama ini kita berada pada tempat dan orang-orang yang salah.
Saya tertawa mendengar ceritanya sambil dalam hati membenarkan apa yang dia ceritakan tersebut.
Hampir 8 tahun lamanya saya bekerja diperusahaan XXX  tapi untuk kejenjang karir yang lebih tinggi sangat jauh sekali, loyalitas yang seperti apa lagi yang mesti kita tunjukkan kata beberapa teman saya, tidak cukupkah kinerja yang kita tunjukkan selama ini, masalah skill apa lagi yang mesti diragukan selama bertahun-tahun  bergelut di bidang yang kita tangani tentu kemampuan sudah tidak perlu di uji lagi.
Gelar tokh kita sudah punya semua, terus apalagi....apa karena kita bukan keluarga orang-orang penting diperusahaan ini?.
Tokh yang datang untuk memimpin kita juga tidak ada bedanya dengan kita, bahkan dari segi pengalaman dalam bidang pekerjaan masih jauh dari kita...itu ucapan yang sering terlontar ketika terjadi diskusi antara saya dan teman-teman kerja.
Akhirnya dengan sedikit ngebanyol saya berujar “untuk mencapai suatu kesuksessan manusia cuma perlu nasib baik..yachh nasib baik  cuma itu”.
Apa nasib kita tidak baik sanggah teman saya, sambil tertawa saya berkata “ bukan tidak baik, tapi kita adalah coca cola pertama” seketika kami semua tertawa.
Memang ironis sekali nasib orang-orang seperti kami, padahal tanah ini tanah kelahiran kami tapi kami cuma sebagai penonton, alih-alih untuk menjadi dan bisa bekerja juga sudah untung, jangan berharap lebih.
Mungkin ada yang menyanggah opini saya ini, apa yang saya ceritakan itulah kenyataan yang saya alami, seringkali datang kepada kami keluarga-keluarga dari pejabat penting perusahaan ( istilah saya) yang jangankan dari skill, ibarat berjalan kami harus mengajari dulu selangkah demi selangkah.
Tentu saja si titipan ini (lagi-lagi  istilah saya) akan mendapatkan perlakuan istimewa dari segala sisi.
Saya terkadang teringat dengan kisah-kisah sukses orang-orang terkenal yang saya baca dibuku-buku, majalah dan media sosial lainnya ataupun dari perjalanan karir teman sekolah saya.
Menata karir dari nol lambat laun merangkak sedikit demi sedikit, kisah sukses teman-teman saya yang rata-rata sudah menduduki posisi-posisi penting diperusahaan tempat mereka bekerja, sementara saya untuk bisa mendapatkan penghasilan seperti sekarang perlu waktu 8 tahun, yang besarnya pun sama bahkan lebih besar penghasilan HARIS ( tukang kebun ) istilah orang Madinah.
Lalu buat apa kita sekolah tokh sama dengan yang tidak sekolah...anak saya tidak usah saya sekolahkan tinggi-tinggi kata teman saya, apabila pembicaraan kami menyangkut tingkat pendidikan , tokh tidak ada pengaruhnya katanya berapi-api.
Kalau sudah seperti ini saya pasti tertawa dan sekali lagi membenarkan omongannya.
Mungkin karena kami perempuan sehingga susah untuk menyembunyikan perasaan kecewa dan kejenuhan, saya pun berani bertaruh teman-teman yang lain juga pasti merasakan hal yang sama hanya karena mereka laki-laki sehingga lebih memendam perasaan ketimbang marah-marah gak jelas.
Mungkin segelumit kisah saya bisa jadi bahan renungan buat kita semua, sebagai perbandingan bahwa kesuksessan tidak hanya dibangun oleh kemampuan,kerja keras, keyakinan , tingkat pendidikan yang tinggi, tapi cuma perlu nasib baik contohnya saya dan teman-teman saya tetap saja terabaikan, terpuruk ditengah-tengah orang titipan dan hanya puas dengan posisi sebagai orang bawahan.
Nasib baik belum berpihak kepada kami, setidaknya itulah kata-kata yang bisa sejenak mengusir rasa jenuh itu, bisa sedikit memberi suntikan kesabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar