Mungkin semua orang pernah
merasa berada pada titik jenuh, jenuh
dengan kehidupan prebadi kita, jenuh dengan rutinitas sehari-hari kita dan
jenuh dengan pekerjaan yang selama ini kita jalani.
Hal itu wajar dan manusiawi sekali,
setelah sekian lama bergelut dengan rutinitas yang sudah kita jalani
bertahun-tahun lamanya.
Penyebab rasa jenuh itu mungkin
bermacam-macam tapi apapun itu ketika titik jenuh itu datang menghampiri kita,
seketika itu juga kita seperti kehilangan semangat hidup, ibaratnya seperti
tanaman kekurangan air sekita itu juga layu.
Saya dan mungkin semua orang didunia
ini pernah merasakan kejenuhan, hal ini bisa saja dipicu dari rasa kecewa
sehingga tidak ada lagi semangat untuk menjalani pekerjaan seperti biasa,
sehingga terkesan cuma menghabiskan waktu, melaksanakan rutinitas tanpa ada
keinginan untuk berbuat lebih dan lebih, tokh! Buat apa atasan sepertinya tutup
mata dengan apa yang selama ini kita lakukan.
Seperti apa sih sosok pimpinan yang
seharusnya??
Tak ada manusia yang sempurna itu
pasti, tapi setidaknya ketika allah menitipkan suatu amanah berupa jabatan
kepada kita, hendaknya berusahalah untuk menjadi pimpinan yang adil, yang tidak
memikirkan keuntungan diri sendiri dan tidak pernah merasa tersaingi oleh anak
buahnya sendiri.
Saya jadi teringat dengan cerita
teman saya tentang kisah Coca Cola salah
satu merk minuman yang sudah sangat terkenal di indonesia.
Dia bercerita ada 3 kaleng Coca Cola
yang di produksi pada pabrik yang sama, pada tanggal, bulan dan tahun yang
sama, rasa, ukuran dan kemasan pun sama tidak ada bedanya sama sekali.
coca cola pertama kebetulan sekali ditempatkan dikios pinggir
jalan, coca cola kedua saat itu di order
oleh seorang pemilik supermarket sehingga tempatnya di supermarket, bagaimana
nasib coca cola ketiga, ternyata coca cola ketiga di order oleh pemilik hotel
berbintang, untuk mengisi dan melengkapi berbagai minuman dingin di kulkas kamar-kamar
hotelnya.
Coca cola pertama di jual dengan
harga empat ribu rupiah karena cuma berada dipinggir jalan yang pelanggannya
cuma orang-orang pinggiran, coca cola kedua di jual dengan harga sepuluh ribu
rupiah maklum ditempatkan disupermarket
ternama, orang-orang yang membelinya pun dari kalangan berada, dan bagaimanakah
nasib coca cola ketiga ternyata coca cola ketiga di jual dengan harga seratus
ribu rupiah sungguh harga yang sangat fantastis untuk sekaleng coca cola karena
berada dihotel berbintang dan yang meminumnya pun bapak-bapak pengusaha dan
pejabat.
Seperti itu mungkin refleksi hidup
kita, apa bedanya ketiga coca cola tersebut, semua sama baik bentuk, ukuran dan
rasa, terus apanya yang salah??, ternyata keadaan atau tempat lah yang
membedakan mereka sehingga nilai mereka berbeda lanjut teman saya, jadi
kesimpulannya kita bukan tidak bisa, kita bukan tidak mampu hanya saja ternyata
selama ini kita berada pada tempat dan orang-orang yang salah.
Saya tertawa mendengar ceritanya
sambil dalam hati membenarkan apa yang dia ceritakan tersebut.
Hampir 8 tahun lamanya saya bekerja
diperusahaan XXX tapi untuk kejenjang
karir yang lebih tinggi sangat jauh sekali, loyalitas yang seperti apa lagi
yang mesti kita tunjukkan kata beberapa teman saya, tidak cukupkah kinerja yang
kita tunjukkan selama ini, masalah skill apa lagi yang mesti diragukan selama
bertahun-tahun bergelut di bidang yang
kita tangani tentu kemampuan sudah tidak perlu di uji lagi.
Gelar tokh kita sudah punya semua,
terus apalagi....apa karena kita bukan keluarga orang-orang penting
diperusahaan ini?.
Tokh yang datang untuk memimpin kita
juga tidak ada bedanya dengan kita, bahkan dari segi pengalaman dalam bidang
pekerjaan masih jauh dari kita...itu ucapan yang sering terlontar ketika
terjadi diskusi antara saya dan teman-teman kerja.
Akhirnya dengan sedikit ngebanyol
saya berujar “untuk mencapai suatu kesuksessan manusia cuma perlu nasib
baik..yachh nasib baik cuma itu”.
Apa nasib kita tidak baik sanggah
teman saya, sambil tertawa saya berkata “ bukan tidak baik, tapi kita adalah
coca cola pertama” seketika kami semua tertawa.
Memang ironis sekali nasib
orang-orang seperti kami, padahal tanah ini tanah kelahiran kami tapi kami cuma
sebagai penonton, alih-alih untuk menjadi dan bisa bekerja juga sudah untung,
jangan berharap lebih.
Mungkin ada yang menyanggah opini
saya ini, apa yang saya ceritakan itulah kenyataan yang saya alami, seringkali
datang kepada kami keluarga-keluarga dari pejabat penting perusahaan ( istilah
saya) yang jangankan dari skill, ibarat berjalan kami harus mengajari dulu
selangkah demi selangkah.
Tentu saja si titipan ini (lagi-lagi istilah saya) akan mendapatkan perlakuan
istimewa dari segala sisi.
Saya terkadang teringat dengan
kisah-kisah sukses orang-orang terkenal yang saya baca dibuku-buku, majalah dan
media sosial lainnya ataupun dari perjalanan karir teman sekolah saya.
Menata karir dari nol lambat laun
merangkak sedikit demi sedikit, kisah sukses teman-teman saya yang rata-rata
sudah menduduki posisi-posisi penting diperusahaan tempat mereka bekerja,
sementara saya untuk bisa mendapatkan penghasilan seperti sekarang perlu waktu
8 tahun, yang besarnya pun sama bahkan lebih besar penghasilan HARIS ( tukang
kebun ) istilah orang Madinah.
Lalu buat apa kita sekolah tokh sama
dengan yang tidak sekolah...anak saya tidak usah saya sekolahkan tinggi-tinggi
kata teman saya, apabila pembicaraan kami menyangkut tingkat pendidikan , tokh
tidak ada pengaruhnya katanya berapi-api.
Kalau sudah seperti ini saya pasti
tertawa dan sekali lagi membenarkan omongannya.
Mungkin karena kami perempuan
sehingga susah untuk menyembunyikan perasaan kecewa dan kejenuhan, saya pun
berani bertaruh teman-teman yang lain juga pasti merasakan hal yang sama hanya
karena mereka laki-laki sehingga lebih memendam perasaan ketimbang marah-marah
gak jelas.
Mungkin segelumit kisah saya bisa
jadi bahan renungan buat kita semua, sebagai perbandingan bahwa kesuksessan
tidak hanya dibangun oleh kemampuan,kerja keras, keyakinan , tingkat pendidikan
yang tinggi, tapi cuma perlu nasib baik contohnya saya dan teman-teman saya
tetap saja terabaikan, terpuruk ditengah-tengah orang titipan dan hanya puas
dengan posisi sebagai orang bawahan.
Nasib baik belum berpihak kepada
kami, setidaknya itulah kata-kata yang bisa sejenak mengusir rasa jenuh itu,
bisa sedikit memberi suntikan kesabaran.